Pelajaran
dari Sebuah Pengalaman
Pagi
yang cerah, mentari mulai menampakkan sinarnya. Burung berkicau. Alarm Hp-ku
berbunyi membangunkanku pagi ini. Segera aku meyambar handuk dan melangkah ke
kamar mandi. Setelah siap dengan seragam putih-abu-abuku, aku menuju ke ruang
makan.
“Pagi ma, pagi pa !”
, sahutku kepada mereka.
“Pagi juga Whynha !”,
sapa mereka kepadaku.
Namaku Mu’awinatul’rahma. Panggil aku Wina aja deh. Aku anak SMA Negeri 1 Liliriaja kelas 10. Disekolah ini aku memiliki sahabat karib yang bernama Lili, Vivi, dan Irma. Aku dan mereka sudah bersahabat sejak kami sekolah di taman kanak-kanak.
“Ma,
aku berangkat ya, Assalammualaikum”, sahutku sambil menyambar tas dan naik ke motor
yang dari tadi sudah dinyalakan oleh ayah ku.
Pelajaran
metematika yang membuat aku mengantuk berat. Buatku metematika itu pelajaran
yang paling menakutkan seumur hidup. Bukan apa-apa, karena aku paling gak suka
yang namanya hitung-hitungan. Akhiranya istirahatpun tiba aku segera mengambil
ancang-ancang untuk kabur ke kantin dan membeli beberapa makanan ringan untuk
dimakan. Setelah itu aku kembali lagi ke kelas. Di kelas aku langsung duduk di
lantai dekat loker kelas kami dan mengobrol.
“Oh
ya hari ini katanya ada anak baru loh”, seru Lili dengan semangat 45, “katanya
dia bakal masuk kelas kita habis istirahat ini?”, lanjutnya.“ Terus ?”, tanya
kami semua penasaran yang lansung membuat Lili mati gaya saat itu juga. Tentu saja
kami langsung tertawa. Lili memang anak yang enak diajak bercanda.
Huft,
pikiranku mulai melayang waktu aku masih SMP dulu, suatu peristiwa yang sama
persis dengan yang terjadi sekarang, yakni kedatangan murid baru di kelas kami,
dan peristiwa itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kami semua,
utamanya bagi saya pribadi.
Waktu
itu, waktu aku masih kelas 3 SMP, kami juga kedatangan murid baru, bel masuk berbunyi kami duduk dibangku
masing-masing. Tak lama Bu Asnia masuk sambil membawa 2 anak perempuan kembar
yang menurutku lumayan. Nama mereka adalah Fitra dan Fitri. Dari wajahnya
terlihat sosok dia yang jutek dan cuek bebek. Yaaah, kesan pertama bertemu dengannya
sepertinya menyebalkan.
Saya
dan teman-teman enggan berkenalan dengan mereka, apalagi setelah teman kami
yang bernama Ani memberitahu kami bahwa Fitra dan Fitri memang jutek, sombong,
dan hanya ingin bergaul dengan anak orang kaya. Saya sangat kesel mendengar hal
tersebut, “ih, apa bagusnya sih jadi orang sombong, mestinya sebagai anak baru,
mereka harus tau diri!” , ucap Vivi dengan wajah kesal. “Iya, aku juga paling
gak suka sama teman yang seperti itu, lebih baik mereka gak usah pindah di
sekolan ini”, tambah Irma dengan suara yang ketus sambil mengerutkan keningnya.
“Ya, terpaksa kita harus beradaptasi dengan mereka, kalau kita semua udah gak
tahan dengan sikap mereka, baru kita lapor ke Bu Asnia”, ujarku meredakan
suasana yang membuat Vivi dan Irma semakin emosi. Kami semua mulai mengucilkan
si kembar, kami semua sibuk ngobrol dengan teman-teman tanpa mempedulikan
kehadiran Fitra dan Fitri di tengah-tengah kami.
Hari
berganti hari, tak terasa kami mulai berkenalan dengan si kembar, ternyata
pandanganku terhadap sifat Fitra dan Fitri ternyata salah besar, semua
prasangka buruk kami mengenai si kembar sangat jauh dari kenyataan, semuanya
berbanding terbalik dengan apa yang ada
di fikiran kami. Baru 3 hari setelah kepindahan
mereka, kami semua sudah sangat akrab dengan mereka. Mereka yang selama
ini kami anggap jutek, sombong dan suka pilih-pilih teman, ternyata sangat
berbanding terbalik dengan fikiran kami, semuanya sangat tidak sesuai dengan
apa yang pernah Ani katakan kepada kami. Kami semua tidak percaya, memang Fitra
dan Fitri memiliki wajah yang terlihat sangat jutek, tapi ternyata mereka
memiliki pribadi yang sangat baik, ramah, pandai begaul, suka membantu dan memiliki
rasa solidaritas yang tinggi. Kami sangat merasa bersalah terhadap mereka.
“Fit,
maafkan kami ya, kami sadar kami salah telah berfikiran negatif tentang kalian,
sampai-sampai kami tega mengucilkan kalian seperti kemarin-kemarin. Sekarang
kami semua sadar, menilai seseorang dari luarnya sangat tidak menjamin
kebenaran dari penilaian kami, sekali lagi maafkan kami ya”, ucapku mewakili
teman-teman meminta maaf kepada si kembar. “Iya, gak apa-apa kok, saya dan
Fitri sangat mengerti dengan alasan kalian semua, jadi kalian gak perlu minta
maaf seperti itu, mulai sekarang kita mulai semuanya dari awal, lupakan semua
kejadian yang kemarin-kemarin, oke?”, jawab
Fitra dengan wajah manjanya. “Jadi, kalian mau memaafkan kami?”, tanya Lili
dengan wajah penasaran. “Jelaslah, kita ini kan berteman, jadi saling memafkan
itu wajib dong, supaya persahabatan kita tetap terjalin dengan baik”, tambah
Fitri sambil mengumbar senyum manisnya.
“Jadi,
mulai sekarang kita semua sahabat, gak ada yang boleh merusak persahabatan
kita, besatu kita teguh, bercerai kita runtuh ! ,, we have a power of
friendship,, setuju?” ujarku dengan semangat, “setujuuuuu”, semua temanku ikut
bersorak dengan semangat.
Lamunan
tentang masa SMPku terhenti seketika bel tanda masuk telah berbunyi, aku dan
teman-teman bergegas menyiapkan buku pelajaran yang akan kami pelajari. Tak
lama kemudian, bapak kepala sekolah masuk ke kelas kami dengan ditemani seorang
anak laki-laki yang wajahnya sangat asing bagi kami, ternyata anak laki-laki
itu adalah murid baru yang baru saja diceritakan Lili kepada kami, wajahnya
sangat jutek, cara berpakaiannya kurang rapi, dan cara berbicaranya agak
berandalan, tapi aku tidak boleh cepat mengambil kesimpulan dengan apa yang aku
lihat sekarang. Aku tidak boleh menilai orang lain dari luarnya saja, biar
bagaimanapun, aku harus menerima teman baruku dengan baik, jangan sampai
kesalahanku waktu SMP terulang kembali, jangan sampai aku menyesal kedua
kalinya karena telah menyianyiakan teman yang sebenarnya memiliki sikap yang sangat
baik hanya gara-gara penilaian dari luar yang tak pasti, hemmmmm, “always
positif thinking”, “wina!, kamu harus tetap berfikiran positif, belum tentu
yang kamu liat sesuai dengan kenyataan”, gumamku dalam hati.
------Created by Mu'awinatul' Rahma------
0 komentar:
Posting Komentar